BONUS DEMOGRAFI
Menyongsong Indonesia Jaya di Tahun 2030
Dari namanya saja sudah menarik ; BONUS. Sebuah kata yang bisa
dianggap sebagai rizki, karunia, berkah, hadiah yang tak disangka-sangka….atau
apa sajalah sebutannya. Yang jelas bonus adalah sesuatu yang sangat menarik
bagi setiap kita. Tak terkecuali, BONUS DEMOGRAFI pun adalah sebuah kalimat positif
yang bisa menyuburkan impian, menumbuhkan harapan.
Ini bukanlah impian biasa, melainkan hasil
dari rumusan dan analisa yang dicetuskan oleh seorang pakar
ekonomi; Prof.Suahasil Nazara. S.E, M.Sc, Phd (SHN), guru besar ekonomi
dari fakultas ekonomi Universitas Indonesia.
Yaitu cara memandang masa depan Indonesia 25
tahun yang akan datang, dengan terlebih dahulu melihat Indonesia di 25 tahun ke
belakang.
Dari dasar pemikiran SHN itulah, Chairul Tanjung
menyampaikan Visi Indonesia 2030 di tahun 2007 melalui Yayasan Indonesia Forum
(YIF). Meski saat itu banyak yang menganggap CT sebagai pemimpi
besar, tapi di 2012 ini ternyata semakin banyak pihak yang mengamini pola
pikirnya ( bisa disimak uraiannya di Buku Chairul Tanjung si Anak
Singkong halaman 276 Bab 32 yang berjudul : Menggagas Visi Indonesia 2030 ) Bagi orang awam seperti saya pun, penjelasan tentang
bonus demografi ini sangat bisa diterima akal.
- Berhasilnya Program Keluarga Berencana. Jika di era 1970-an rata-rata sebuah keluarga mempunyai 5 anak, maka ayah bekerja untuk menafkahi 7 orang yaitu dirinya, istri, dan 5 orang anaknya. Banyak orang yang mempunyai catatan hidup seperti CT, dimana makan dengan lauk satu telur dadar dibagi 7 potong. Saat ini, rata-rata keluarga mempunyai dua anak saja. Dan menurunnya jumlah keluarga itu telah menjadikan menurunkan biaya hidup pula. Maka, kita bisa merasakan, berapa kilo rata-rata konsumsi telur kita dalam sebulan. Nyaris tak ada lagi cerita satu telur dibagi 7 potong bukan? Dengan jumlah rata-rata satu keluarga dua anak saja, otomatis mempunyai kemampuan menabung yang lebih besar, ditambah pertumbuhan ekonomi secara makro yang diharapkan secara otomatis meningkatkan pendapatan keluarga secara mikro. Tabungan itulah yang kemudian menjadi modal investasi penggerak pembangunan di negeri ini.
- Jika di tahun 1970-an masih banyak buta huruf dan tidak lulus SD, maka tahun 2030 Indonesia bukan hanya bisa diartikan telah bebas dari penyakit memprihatinkan itu. Meningkatnya rata-rata pendidikan penduduknya menjadi setara sekolah menengah, adalah modal yang sangat penting dimana SDM adalah modal utama sebuah pembangunan.
- Para koruptor sudah menua, bahkan banyak yang telah meninggal dunia dan mungkin sedang sibuk-sibuknya mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Budaya korupsi sudah terkikis dengan habisnya generasi tua yang akan menghentikan kebiasaan suap menyuap, dan aneka praktek korupsi lainnya. Bagi mereka yang masih hidup, yakinlah bahwa seorang koruptor pun sesungguhnya tak menginginkan anak keturunannya mengikuti jejak langkahnya, terlebih jika petualangannya telah berakhir di LP Cipinang :) Jika ada yang mengatakan ”Ah…dipenjara dan tidak dipenjara toh sama saja buat dia…masih enak kok hidupnya. Tetap bisa mondar-mandir keluar masuk bui. Masih bisa merasakan udara bebas, masih bisa menikmati hidup!”, saya akan balik bertanya “Siapa bilang penjara ga ada artinya??” Saya tetap berpendapat bahwa seenak-enaknya di penjara, pastilah lebih nyaman hidup di alam bebas. Itulah makanya banyak orang sudah akan stress dan sakit saat di persidangan, karena sudah terbayang bagaimana menderitanya ia di penjara sana.
Dengan uangnya mungkin ia bisa lepas dari sel untuk
beberapa saat, tapi jiwanya tetap terpenjara. Ia bukan lagi manusia bebas.
Bahkan mungkin juga ia merasa semua mata menatapnya dengan sinis dan dengan
penghinaan. Dan satu lagi, fitrah manusia adalah suci.
Maka jika seseorang melakukan kejahatan, maka
sesungguhnya hati nuraninya yang akan menghukum dirinya dengan berbagai
ketidaknyamanan perasaan. Mau coba??? Boleh saja…!:)
Maka secara hitungan di atas kertas, para generasi bahkan
anak-anak para koruptor pun sudah akan insyaf akan arti pentingnya kejujuran,
keprofesionalan, dedikasi, pengorbanan, perjuangan, dst dll.
4. Di tahun 2030, anak-anak kelahiran tahun 1980-1990
telah menjadi pemegang tongkat estafet pembangunan negeri ini. Mereka adalah
generasi muda produk masa kini, yang selain terdidik, juga sudah terputus mata
rantainya dari budaya ”feodalisme” dan korupsi. Rata-rata mereka adalah kaum
profesional, yang lebih rasional dalam bertindak, bersikap dan kemudian
mengambil keputusan-keputusan dari yang kecil hingga yang besar.
5. Dan perbaikan tingkat hidup rata-rata penduduk
Indonesia sebenarnya sangat terlihat di depan mata. Di masa saya kecil, di kampung saya sebagian besar rumah-rumah penduduk
berdinding anyaman bambu alias gedhek. Tapi entah sudah
berapa belas tahun yang lalu, rumah-rumah itu kini perlahan tapi pasti berganti
dinding menjadi tembok-tembok ala di perkotaan.
6. Terlepas dari
kritik terhadap pembangunan di bidang transportasi dan layanan publik yang
masih jauh dari memadai, kemacetan jalan raya dan berbagai akses jalan menuju
puncak dan tempat liburan di akhir pekan, sesungguhnya bisa dijadikan salah
satu tolok ukur bertambahnya kelas menengah ke atas yang mampu membeli
kendaraan roda empat. Berarti daya beli sebagian masyarakat
telah mengalami pertumbuhan cukup pesat, meski belum merata ke seluruh lapisan.
Lalu apa gunanya kita perlu membaca dan
menganalisa pertumbuhan ekonomi makro dan bonus demografi tersebut?
Sangat-sangat penting tentunya…!
Bagi pelaku usaha, salah satu kabar baik adalah, berarti
di tahun 2030 kebutuhan akan hiburan dan wisata akan meningkat tajam seiring dengan
kemakmuran bangsa yang akan dicapai.
Maka, tak heran jika CT, salah satu seorang pengusaha
yang berwawasan ke depan telah membangun tempat wisata Trans Studio di Makasar,
Bandung, dan sedang direncanakan di Jakarta serta berbagai kota-kota besar yang
tersebar di seluruh pulau. Karena diprediksikan, tahun 2030, pertumbuhan
kota-kota tidak hanya berpusat di Kepulauan Jawa, melainkan juga menyebar ke
pulau-pulau lainnya.
Sebuah analisa ”amatiran” ala saya, yang mencerminkan geliat salah
satu kota di
Kalimatan, pernah saya tuliskan dalam sebuah cerita kecil tentang perjalanan ke
Palangkaraya
http://ditawidodo.wordpress.com/sebuah-catatan-dari-palangka-raya/. Sebuah kota yang terbukti telah
menjadi negeri impian orang yang tersisihkan semacam Pak Adi.
Saya membatin, ”Ohh..mungkin inilah barangkali yang dimaksud Pak
CT. Dengan banyaknya pabrik kelapa sawit yang berekspansi di kota
semacam Palangkaraya adalah salah satu tanda-tanda kebangkitan Indonesia
di tahun 2030 mendatang” Peta demografi akan membantu membuat keputusan-keputusan dalam
sebuah usaha, termasuk melihat peluang-peluang bisnis masa depan. Pantaslah jika CT mewujudkan keyakinan dan motto hidupnya : ”Belilah masa
depan dengan harga sekarang” Bagi pendidik, program akreditasi dan berbagai perlombaan
kreatifitas guruadalah salah satu hal yang memang harus
dilakukan oleh pemerintah dalam mempersiapkan pendidik-pendidik yang
berkualitas. Guru-guru ini sangat ampuh pengaruhnya dalam mendorong percepatan
pembangunan. Dengan kualitas guru yang mumpuni, mereka berperan layaknya seperti pandai besi, yang akan menyulap
sebuah besi tumpul menjadi pedang, keris, pisau, atau benda tajam lain bernilai
tinggi, berkekuatan dasyat.
Bagi karyawan/pekerja, jika Anda tak menyadari pentingnya terus belajar dan mengupdate
diri, bersiap-siaplah untuk ”kesusul” oleh generasi muda yang penuh potensi,
berpengetahuan luas, berkemampuan lebih dari memadai.
Merekalah yang kelak akan memimpin perusahan-perusahan nasional
hingga multi nasional. Dan ini sudah sangat bisa terlihat, di berbagai
perusahaan, bos-bos di atas itu adalah jajaran anak muda berbakat yang baru
saja menceburkan diri ke perusahaan tersebut.
Bagi ibu rumah tangga, jika
kita tidak mau ikut belajar…alamat kita akan “kurang gaul” dengan anak-anak
kita. Mereka yang saat ini masih SD, sudah “melek” terhadap tekhnologi
informasi. Kita tak kan bisa menjadi teman yang baik apalagi untuk bisa membentengi mereka dari pengaruh buruk
yang mengikuti sebuah kemajuan tekhnologi manakala kita sendiri “gaptek”.
Maka, tidak ada pilihan bagi ibu-ibu rumah tangga di masa
kini dan masa depan untuk ikut mengikuti
perkembangan pengetahuan agar kita tak merasa ditinggalkan…:)
Kabar gembira berupa data tertinggi
manusia-manusia produktif di 2030 itu adalah juga sekaligus sebagai alarm bagi
kita semua. Akankah kita akan terbawa kereta super cepat bernama perubahan itu?
Ataukah kita hanya akan memilih menjadi penonton saja? Lagi-lagi, kita sendirilah yang harus memutuskan.
Kerja keras dan belajar hari ini untuk
menyambut sinar matahari pagi di langit Indonesia di 2030 mendatang! Berfokus
pada penggalangan energi positif adalah hal utama yang tak terbantahkan
manfaatnya.
Dan saya sangat sepakat dengan ungkapan Pak Chairul
Tanjung : Bayar hari ini
untuk masa depan! :):)